Pagi cerah ini berbeda
dari pagi biasanya. Aku dan keluargaku akan melakukan perjalanan jauh ke
Bandung, ke tempat tinggal baru kami. Sekitar 4 jam perjalanan kami tempuh,
mobil yang kami tumpangi melaju dengan cepatnya, tanpa memerdulikan jalanan
licin karena hujan.
“Ciiit” Suara mobil
mengerem membangunkanku dari tidur selama perjalanan.
Kulihat sebuah rumah kosong
di hadapanku, tentu saja itu adalah tempat tinggal baru kami, rumah itu tak terlalu
mewah, tak terlalu besar, tetapi ... (sedikit
menyeramkan), tapi bagiku itu sudah
cukup nyaman untuk disinggahi.
“Kreeek” Suara bukaan
pintu depan mengawali kami di rumah itu, suasana senyap menyambut kami. Setelah
masuk dan berberes-beres di dalamnya, aku merebahkan tubuhku sejenak ke sebuah
sofa di ruang tengah. Sofa itu sangat bau dan usang.
“Saatnya beradaptasi
kawan!” Kalimat itu kulontarkan untuk seisi rumah. Tiba-tiba..
“Waaaa!” Tesya adikku,
mengagetkanku dengan topeng hantu miliknya.
“Tesya!, bikin kaget
kakak saja deh”
Berkeliling rumah ini
adalah pengalaman pertamaku di sini. Sambil berkeliling, mataku terpana pada
sebuah ruangan di lantai atas. Ruangan berdebu, kotor, dan gelap. Perlahan
kulangkahkan kedua kakiku ini ke ruangan itu, dengan perasaan tegang dan
was-was.
“Kreek” Suara bukaan
pintu kembali ku dengar, kali ini nyamuk-nyamuk dan beberapa kelelawar
beterbangan keluar menyambutku, sontak saja aku menghindar dan terjatuh, tetapi
saat terjatuh aku mendengar teriakan seseorang dari bawah. Aku sangat terkejut
mendengarnya, lalu aku berdiri di pinggir tangga, ku tengokan kepalaku ini ke kanan, ke kiri, ke
bawah. dan ke atas. Tak kulihat seorang pun disana, tubuhku bergemetar,
keringat dingin memancar. Dan..
“Mamaaa, takuuut” Lari,
lari lari yang kupikirkan saat itu, sambil berteriak dengan kerasnya.
“Ada apa sih Sasha?,
kok sampai teriak-teriak begitu?” Tanya mama sambil mengusap keringat di
keningku.
“Ta.. ta.. tadi ma, hh
ah enggak ma, enggak apa-apa kok, huuh” Jawabku terbata-bata, sedikit demi
sedikit rasa takutku hilang karena suasana cerah di lantai bawah ini.
Sebelum
kami semua pindah ke kota Bandung ini, semuanya telah dipersiapkan lebih dulu,
salah satunya adalah sekolahku. Besok pagi, aku sudah mulai bersekolah di
sekolah baruku. SMP “Taman Bangsa”.
MAKAN SIANG...
Saat
kami sedang menikmati hidangan makan siang, teriakan itu kembali terdengar
ditelingaku.
“Ma,
dengar enggak” Tanyaku sambil berbisik.
“Dengar
apa? Ayo sudah cepat habiskan makanmu” Jawab Mama ketus.
Tak
ada jawaban dari mama, aku pun beralih ke Tesya, si anak jail itu.
“Sya,
dengar enggak” Tanyaku lagi.
“Dengar
apa kak, enggak ada suara apa-apa tuh”
Duh
ini telinganya pada kenapa ya? Kok pada enggak dengar semua. Duh ini suara apa
sih.. (Pikirku).
Siang
pun berganti sore, waktu yang paling tepat untuk bersantai. Jam 16.18, aku dan
Tesya pergi bersepeda di sekitar rumah kami. Daerah ini, sangat sepi dan
tentram. Tak banyak orang yang tinggal di sini. Jalan Manggis no. 45, tiba-tiba
sepedaku berhenti mendadak, tak tahu kenapa. Di dalam pagar rumah itu aku
melihatt seorang nenek-nenek yang sedang menyapu., padahal tadinya hanya ada
aku dan Tesya. Nenek itu memandangku dengan tajam, sambil berkata
“Berbahya-berbahaya!”. Dengan beraninya aku pun bertanya”Berbahaya kenapa
nek?”, nenek itu tidak menjawab pertanyaanku, malah tetap mengatakan kalimat
tadi dan terus memandangku dengan tajam. Akhirnya kuputuskan untuk mengakhiri
bersepeda sore ini dan kembali ke rumah.
Kini
sore berganti malam, suasana malan ini semakin menyeramkan. Papa belum banyak
mengganti lampu di rumah ini, sehingga rumah ini masih dalam keadaan gelap
gulita.
KEJADIAN JAM 20.30..
“Kak,
anterin aku ke toilet yuk” Pinta Tesya sambil berlaga ala kebeletnya.
“Haduh,
sudah malam nih, kenapa enggak dari tadi sih Sya?” Jawabku kesal.
“Ayo
dong kak, ayo”
“Ya
ya, ayo cepat”
Sementara
Tesya di dalam toilet, aku hanya berdiri di depan pintu. Tak lama, di sudut
ruangan belajar aku melihat seorang nenek yang tadi, tetapi sekilas nenek itu
menghilang dari pandanganku, tubuhku kembali bergemetar. Bulu kudukku berdiri
dengan tegak. Untung saja Tesya segera keluar dari toilet, setelahnya aku dan
Tesya berlari secepat mungkin menuju kamar, mentupi seluruh tubuh kami dengan
selimut yang mengantarkan kami ke dalam dunia mimpi.
Pagi
menjelang, saatnya hari pertama di sekolah baruku. Kaus kaki pendek, sepatu
warior tinggi, memakai jam tangan, rambut di gerai, dan menggendog tas di
pundakku, ya itulah gayaku saat pergi ke sekolah, hehe.. Tesya adikku itu,
masih berumur 8 tahun, seharusnya ia juga pergi bersekolah pagi ini, tetapi
karena belum ada sekolah yang cocok, terpaksa ia belum bersekolah untuk beberapa
hari ini.
Hari
pertama di sekolah baruku itu sangat membosankan. Mereka semua yang berada di
ruang kelas yang sama denganku, hanya diam mengabaikanku sambil sesekali
melirik ke arahku. Aku lebih tepatnya hanya dianggap “Patung”, tapi ya
sudahlah, beradaptasi memang membutuhkan waktu.
Saat
mobil yang dikendarai oleh papa menuju ke rumah, dan saat itu pula mobil
melewati Jalan Semangka, aku melihat seorang gadis kecil berdiri membisu dengan
boneka beruang yang sedang dipeluknya. Rambut berantakan, tubuh dilapisi oleh
debu, mata melotot dan bertelanjang kaki, itulah yang kulihat dari gadis kecil
itu.
Sejak
saat itulah aku mulai merasakan kejanggalan dari daerah ini, begitu banyak hal
yang menggangguku, dari mulai teriakkan seseorang, nenek-nenek menyapu, sampai
gadis kecil yang baru saja kulihat. Tepat pukul 13.15 aku sampai di rumah.
“Aku
pulang.” Sahutku
“Iya
sayang” Jawab mama, aku melihat mama sudah berpakaian rapih, kalau begini mama
pasti akan pergi ke suatu tempat, tapi entahlah.
“Ayo
ma, Tesya sama papa suda siap nih” Teriak papa dari luar.
“Loh-loh,
pada mau kemana?”
“Oh
iya, mama, Tesya, sama papa mau pergi dulu untuk mencari sekolah baru Tesya,
kasian kan kalau Tesya belum juga berangkat sekolah, tapi kamu disini dulu saja
ya, jaga rumah baik-baik” Kalimat mama itu membuatku kaget dan takut.
APA DISINI? JAGA RUMAH? SENDIRIAN?
“Enggak-enggak
ma, aku ikut ya!” Jujur seumur-umur, aku belum pernah di rumah sendirian.
“Haduh
sayang, Cuma sebentar kok, kamu disini dulu saja ya, dadah!” Itu kalimat mama
yang menenggelamkanku dalam ketakutan. Aku diam mama pergi.
Aku
pun masuk ke dalam rumah dengan rasa takut yang masih mengguyurku. Beberapa
lama kemudian, ketertarikanku pada ruangan di lantai atas itu kembali muncul.
“Tek”
Lampu di ruangan itu kunyalakan untuk memberikan kesan cerah di sini.
Udara
pengap yang kurasakan kala itu, sekitar lima langkah aku berjalan berkeliling
ruangan itu. Sebuah kotak besar kulihat di bawah tumpukan karung. Karena
penasarannya, segera kubuka kotak besar itu, dan di dalamnya ada berbagai macam
kertas berwarna-warni. Kertas berwarna cokelat keemasan yang pertama kubaca.
Lebih persisnya seperti peta jejak, dan benar saja, itu adalah peta jejak,
tetapi peta jejak apa ya??. Di pojok kanan atas kertas itu, terdapat sebuah
alamat rumah yang bertuliskan Jalan Apel no. 45. Apa? itu kan alamat rumahku
sekarang?
Berhari-hari
kupikirkan cara untuk memecahkan peta jejak itu. Rabu, 8 Desember 2010, kusiapkan semua alat yang
kubutuhkan untuk pencarian jejak hari ini.
PETUNJUK PERTAMA : Dua pohon kembar di halaman
belakang.
Tanda tangan di batang.
Tuliskan juga tanda tanganmu.
Sedikit
membingunkan, tetapi berjuanglah yang kini harus ada dalam petualanganku. .
Setelah membaca petunjuk pertama, aku segera menuju ke halaman belakang. Ketika
di sana, langit berubah menjadi gelap, seolah ingin menyamai perasaanku saat
ini “Tegang”. Di halaman belakang, terdapat empat pohon. Dua jenis pohon sama,
dan dua lainnya pun begitu. Tak kehabisan akal, aku memutari satu per-satu
pohon itu untuk mencari tanda tangan yang dimaksudkan petunjuk pertama.
‘Yeah
ini dia!” Teriakku kegirangan, akhirnya aku menemukan sebuah pohon besar yang
tidak kuketahui jenisnya bertanda tangan seseorang. Dengan ranting kayu yang
kudapat dari sekitar pohon itu, perlahan aku menuliskan tanda tanganku.
Petunjuk
kedua sudah menungguku untuk menyelesaikannya, tetapi saat aku ingin mengambil
peta itu di dalam ranselku, hujan datang dengan derasnya. Sehingga
menghalangiku untuk menyelesaikan petunjuk kedua. Petualanganku belum berakhir
sampai di sini, masih ada waktu untuk menyelesaikannya. Hatiku gelisah dan
bimbang membutuhkan seorang teman untuk diajak curhat..
“Hai
Sha, apa kabar?” Tanya salah seorang teman baruku yang biasa kupanggil Tami,
dia anak yang pintar, baik, dan juga pemberani.
“Hai
Tam, baik, Tam aku mau cerita” Jawabku singkat.
“Boleh-boleh,
kapan?” Balas Tami dengan wajah cerianya.
“Bagaimana
sehabis pulang sekolah, di rumahku”
“Baiklah”
Bel
tanda pulang pun sudah terdengar, saatnya aku menceritakan pengalamanku ini
kepada Tami. Di kamarku yang menyeramkan, aku menceritakan semua yang telah
kualami selama ini, di mulai dengan berbagai hal yang menggangguku, dan
berakhir di petualangan peta jejak.
“Ehh,
sebenernya ada rahasia di daerah kamu ini” kata Tami tiba-tiba.
“Hah,
yang benar, apa itu?”
“Dulu,
banyak sekali tragedi mengerikan di sini, salah satunya adalah pembantaian dari
para komplotan jahat di masa itu, yang membuat daerah ini berubah menjadi
kacau-balau. Setiap harinya, berpuluh-puluh orang mati karena pembantaian itu.
Sampai suatu hari, seorang warga desa
datang ke sebuah gubuk di dalam hutan, untuk menemui seorang dukun. Warga
tersebut ingin meminta sebuah peta jejak agar daerah ini menjadi tentram
kembali. Katanya hanya orang yang pemberani dan sabarlah yang mampu memecahkan
peta jejak itu, mungkin dirimu.” Tami menjelaskan panjang lebar tentang tragedi
itu, tapi yang aku tidak suka adalah di bagian akhirya. AKU?.
“Lalu
bagaimana dengan hal-hal yang sering menggangguku?” Tanyaku kembali.
“Entahlah,
aku belum tau banyak hal tentang itu, mungkin saja itu adalah warga desa ini
yang sudah mati dibunuh”
“Tam,
bisa bantu kan?”
“Bantu
apa?”
“Menyelesaikan
peta jejak itu.”
“Loh,
enggak bisa dong Sha, peta itu hanya bisa diselesaikan dengan satu orang saja,
aku yakin kamu bisa”
Dengan
dukungan yang Tami berikan kepadaku. Tekadku semakin kuat untuk menyelesaikan
peta jejak itu. Semenjak kejadian pembantaian dari para komploan jahat, situasi
di daerah ini sangat berbahaya, dan membuat kehidupan di sini tidak tentram.
Maka dari itu aku ingin membuat daerah ini menjadi aman!!
Selasa,
28 Desember 2010, petunjuk kedua akan
segera ku selesaikan.
PETUNJUK KEDUA : Hutan Jantan.
Belakang Jalan Apel.
Gubuk.
Batu Permata.
Keteganganku
menggelegar, Jalan Apel?, tempat di mana rumahku sekaligus hal pertama
menggangkuku?. Kutenangkan diriku sejenak, lalu bergegas ke Hutan Jantan yang
berada di belakang Jalan Apel, dekat rumahku.
Sunyi,
gemericik air yang kudapat dari hutan itu, tetapi masalahnya, di mana gubuk
itu??. Ku lirikan mataku ini ke setiap sudut dari hutan, sampai akhirnya aku
menemukan sebuah gubuk yang sudah hampir terkubur oleh dedaunan. Ku masuki
gubuk itu perlahan, dan mencari Batu Permata itu. Tiba-tiba kudengar hentakan
kaki, entah dari mana. Aku pun kembali ke luar gubuk untuk melihatnya, tetapi
tetap saja tak ada seorang pun yang kulihat. Dari kejauhan seekor hewan sedang
berlari. MENGHAMPIRIKU !!. aku
menghindar, dan hewan itu pun dengan santai mengambil ranselku yang berisi
makanan, untungnya peta jejak sedang kugenggam sehingga hewan itu tidak bisa
mengambilnya
“Yah
gimana nih, Batu Permata belum ketemu lagi” Keluhku.
Aku
pun kembali ke dalam gubuk, dan mencari Batu Permata itu. Sekitar tiga puluh
menit kemudian aku menemukan batu itu. Batu berkilau berwarna biru cerah,
setelahnya aku beralih ke petunjuk ketiga alias petunjuk terakhir. Hore !!
PETUNJUK KETIGA
: Rumah Pohon.
Di puncak gunung.
Pohon X dan rumah pohon.
Kertas Permohonan.
Itulah
petunjuk ketiga..Aku sedikit bingung juga. Gunung? Rencananya, aku akan
menyelesaikan petunjuk ketiga itu esok hari, tetapi saat ingin kembali ke
rumah. Aku tersesat!!. Sudah berulang kali aku berkeliling hutan Jantan itu
untuk mencari jalan pulang, tetap saja aku tidak menemukannya. Terpaksa, sangat
terpaksa aku harus bermalam di sini, di Hutan ini. Aku tak tahu bagaimana
keadaan keluargaku saat ini, apakah mereka mencariku?. Hari semakin malam,
perutku masih belum terisi sejak tadi pagi, aku lapaaar. Malam ini, udara
sangat dingin, hanya jaket yang sejak tadi kukenakan beralih fungsi sebagai
selimut, aku pun terlelap dalam kegelapan.
Pagi
telah datang, petualanganku masih saja belum berakhir, sama seperti perutku
yang belum terisi. Dengan tenaga yang hampir habis, aku berusaha sekuat mungkin
untuk mendaki hingga puncak gunung itu, gunung yang tidak kuketahui namanya. 4 jam
telah berlalu, aku sudah tidak kuat lagi. Ku
mohon bantu aku batinku..
“Hh,
akhirnya sampai juga” Kataku saat sampai di puncak gunung. Eits, belum
berakhir, aku harus mencari pohon yang ditandai dengan huruf X dan memanjatnya.
Satu persatu petunjuk ketiga kutemukan, salah satunya pohon X.
Di
rumah pohon yang usang itu, aku segera mencari kertas permohonan. Kutemui
sebuah kertas di bawah bingkai foto, bingkai foto yang kosong. Langsung ku
berpikir itulah kertas permohonan. Tetapi, kecelakaan yang tak terduga kembali
menimpaku, seekor ular menggigitku.
“Aw
!” Pekikku. Ini sungguhlah sakit, tak mau usaha yang kukerahkan terbuang
sia-sia, aku segera menuliskan permohonanku untuk daerah ini dengan darah yang
kini sedang mengalir di kakiku. Aku menuliskan..
KEDAMAIAN ABADI SELAMANYA... Cahaya terang terpancar dari kertas itu,
setelahnya pandanganku
buram. Aku terjatuh dan tergeletak dengan darah yang masih bercucuran. Setelah
itu aku tak tahu apa yang terjadi. Aku hanya berharap daerah ini menjadi
tentram dan damai, seperti permohonan yang kutuliskan dengan darahku.