Selasa, 16 Oktober 2012

My Cerpen


Pagi cerah ini berbeda dari pagi biasanya. Aku dan keluargaku akan melakukan perjalanan jauh ke Bandung, ke tempat tinggal baru kami. Sekitar 4 jam perjalanan kami tempuh, mobil yang kami tumpangi melaju dengan cepatnya, tanpa memerdulikan jalanan licin karena hujan.
“Ciiit” Suara mobil mengerem membangunkanku dari tidur selama perjalanan.
Kulihat sebuah rumah kosong di hadapanku, tentu saja itu adalah tempat tinggal baru kami, rumah itu tak terlalu mewah, tak terlalu besar, tetapi ...  (sedikit menyeramkan), tapi bagiku itu  sudah cukup nyaman untuk disinggahi.
“Kreeek” Suara bukaan pintu depan mengawali kami di rumah itu, suasana senyap menyambut kami. Setelah masuk dan berberes-beres di dalamnya, aku merebahkan tubuhku sejenak ke sebuah sofa di ruang tengah. Sofa itu sangat bau dan usang.
“Saatnya beradaptasi kawan!” Kalimat itu kulontarkan untuk seisi rumah. Tiba-tiba..
“Waaaa!” Tesya adikku, mengagetkanku dengan topeng hantu miliknya.
“Tesya!, bikin kaget kakak saja deh”
Berkeliling rumah ini adalah pengalaman pertamaku di sini. Sambil berkeliling, mataku terpana pada sebuah ruangan di lantai atas. Ruangan berdebu, kotor, dan gelap. Perlahan kulangkahkan kedua kakiku ini ke ruangan itu, dengan perasaan tegang dan was-was.
“Kreek” Suara bukaan pintu kembali ku dengar, kali ini nyamuk-nyamuk dan beberapa kelelawar beterbangan keluar menyambutku, sontak saja aku menghindar dan terjatuh, tetapi saat terjatuh aku mendengar teriakan seseorang dari bawah. Aku sangat terkejut mendengarnya, lalu aku berdiri di pinggir tangga,  ku tengokan kepalaku ini ke kanan, ke kiri, ke bawah. dan ke atas. Tak kulihat seorang pun disana, tubuhku bergemetar, keringat dingin memancar. Dan..
“Mamaaa, takuuut” Lari, lari lari yang kupikirkan saat itu, sambil berteriak dengan kerasnya.
“Ada apa sih Sasha?, kok sampai teriak-teriak begitu?” Tanya mama sambil mengusap keringat di keningku.
“Ta.. ta.. tadi ma, hh ah enggak ma, enggak apa-apa kok, huuh” Jawabku terbata-bata, sedikit demi sedikit rasa takutku hilang karena suasana cerah di lantai bawah ini.
            Sebelum kami semua pindah ke kota Bandung ini, semuanya telah dipersiapkan lebih dulu, salah satunya adalah sekolahku. Besok pagi, aku sudah mulai bersekolah di sekolah baruku. SMP “Taman Bangsa”.
MAKAN SIANG...
            Saat kami sedang menikmati hidangan makan siang, teriakan itu kembali terdengar ditelingaku.
            “Ma, dengar enggak” Tanyaku sambil berbisik.
            “Dengar apa? Ayo sudah cepat habiskan makanmu” Jawab Mama ketus.
            Tak ada jawaban dari mama, aku pun beralih ke Tesya, si anak jail itu.
            “Sya, dengar enggak” Tanyaku lagi.
            “Dengar apa kak, enggak ada suara apa-apa tuh”
Duh ini telinganya pada kenapa ya? Kok pada enggak dengar semua. Duh ini suara apa sih.. (Pikirku).
            Siang pun berganti sore, waktu yang paling tepat untuk bersantai. Jam 16.18, aku dan Tesya pergi bersepeda di sekitar rumah kami. Daerah ini, sangat sepi dan tentram. Tak banyak orang yang tinggal di sini. Jalan Manggis no. 45, tiba-tiba sepedaku berhenti mendadak, tak tahu kenapa. Di dalam pagar rumah itu aku melihatt seorang nenek-nenek yang sedang menyapu., padahal tadinya hanya ada aku dan Tesya. Nenek itu memandangku dengan tajam, sambil berkata “Berbahya-berbahaya!”. Dengan beraninya aku pun bertanya”Berbahaya kenapa nek?”, nenek itu tidak menjawab pertanyaanku, malah tetap mengatakan kalimat tadi dan terus memandangku dengan tajam. Akhirnya kuputuskan untuk mengakhiri bersepeda sore ini dan kembali ke rumah.
            Kini sore berganti malam, suasana malan ini semakin menyeramkan. Papa belum banyak mengganti lampu di rumah ini, sehingga rumah ini masih dalam keadaan gelap gulita.
KEJADIAN JAM 20.30..
            “Kak, anterin aku ke toilet yuk” Pinta Tesya sambil berlaga ala kebeletnya.
            “Haduh, sudah malam nih, kenapa enggak dari tadi sih Sya?” Jawabku kesal.
            “Ayo dong kak, ayo”
            “Ya ya, ayo cepat”
            Sementara Tesya di dalam toilet, aku hanya berdiri di depan pintu. Tak lama, di sudut ruangan belajar aku melihat seorang nenek yang tadi, tetapi sekilas nenek itu menghilang dari pandanganku, tubuhku kembali bergemetar. Bulu kudukku berdiri dengan tegak. Untung saja Tesya segera keluar dari toilet, setelahnya aku dan Tesya berlari secepat mungkin menuju kamar, mentupi seluruh tubuh kami dengan selimut yang mengantarkan kami ke dalam dunia mimpi.
            Pagi menjelang, saatnya hari pertama di sekolah baruku. Kaus kaki pendek, sepatu warior tinggi, memakai jam tangan, rambut di gerai, dan menggendog tas di pundakku, ya itulah gayaku saat pergi ke sekolah, hehe.. Tesya adikku itu, masih berumur 8 tahun, seharusnya ia juga pergi bersekolah pagi ini, tetapi karena belum ada sekolah yang cocok, terpaksa ia belum bersekolah untuk beberapa hari ini.
            Hari pertama di sekolah baruku itu sangat membosankan. Mereka semua yang berada di ruang kelas yang sama denganku, hanya diam mengabaikanku sambil sesekali melirik ke arahku. Aku lebih tepatnya hanya dianggap “Patung”, tapi ya sudahlah, beradaptasi memang membutuhkan waktu.
            Saat mobil yang dikendarai oleh papa menuju ke rumah, dan saat itu pula mobil melewati Jalan Semangka, aku melihat seorang gadis kecil berdiri membisu dengan boneka beruang yang sedang dipeluknya. Rambut berantakan, tubuh dilapisi oleh debu, mata melotot dan bertelanjang kaki, itulah yang kulihat dari gadis kecil itu.
            Sejak saat itulah aku mulai merasakan kejanggalan dari daerah ini, begitu banyak hal yang menggangguku, dari mulai teriakkan seseorang, nenek-nenek menyapu, sampai gadis kecil yang baru saja kulihat. Tepat pukul 13.15 aku sampai di rumah.
            “Aku pulang.” Sahutku
            “Iya sayang” Jawab mama, aku melihat mama sudah berpakaian rapih, kalau begini mama pasti akan pergi ke suatu tempat, tapi entahlah.
            “Ayo ma, Tesya sama papa suda siap nih” Teriak papa dari luar.
            “Loh-loh, pada mau kemana?”
            “Oh iya, mama, Tesya, sama papa mau pergi dulu untuk mencari sekolah baru Tesya, kasian kan kalau Tesya belum juga berangkat sekolah, tapi kamu disini dulu saja ya, jaga rumah baik-baik” Kalimat mama itu membuatku kaget dan takut.
APA DISINI? JAGA RUMAH? SENDIRIAN?
            “Enggak-enggak ma, aku ikut ya!” Jujur seumur-umur, aku belum pernah di rumah sendirian.
            “Haduh sayang, Cuma sebentar kok, kamu disini dulu saja ya, dadah!” Itu kalimat mama yang menenggelamkanku dalam ketakutan. Aku diam mama pergi.
            Aku pun masuk ke dalam rumah dengan rasa takut yang masih mengguyurku. Beberapa lama kemudian, ketertarikanku pada ruangan di lantai atas itu kembali muncul.
            “Tek” Lampu di ruangan itu kunyalakan untuk memberikan kesan cerah di sini.
            Udara pengap yang kurasakan kala itu, sekitar lima langkah aku berjalan berkeliling ruangan itu. Sebuah kotak besar kulihat di bawah tumpukan karung. Karena penasarannya, segera kubuka kotak besar itu, dan di dalamnya ada berbagai macam kertas berwarna-warni. Kertas berwarna cokelat keemasan yang pertama kubaca. Lebih persisnya seperti peta jejak, dan benar saja, itu adalah peta jejak, tetapi peta jejak apa ya??. Di pojok kanan atas kertas itu, terdapat sebuah alamat rumah yang bertuliskan Jalan Apel no. 45. Apa? itu kan alamat rumahku sekarang?
            Berhari-hari kupikirkan cara untuk memecahkan peta jejak itu. Rabu,  8 Desember 2010, kusiapkan semua alat yang kubutuhkan untuk pencarian jejak hari ini.
PETUNJUK PERTAMA : Dua pohon kembar di halaman belakang.
                                           Tanda tangan di batang.
                                           Tuliskan juga tanda tanganmu.
            Sedikit membingunkan, tetapi berjuanglah yang kini harus ada dalam petualanganku. . Setelah membaca petunjuk pertama, aku segera menuju ke halaman belakang. Ketika di sana, langit berubah menjadi gelap, seolah ingin menyamai perasaanku saat ini “Tegang”. Di halaman belakang, terdapat empat pohon. Dua jenis pohon sama, dan dua lainnya pun begitu. Tak kehabisan akal, aku memutari satu per-satu pohon itu untuk mencari tanda tangan yang dimaksudkan petunjuk pertama.
            ‘Yeah ini dia!” Teriakku kegirangan, akhirnya aku menemukan sebuah pohon besar yang tidak kuketahui jenisnya bertanda tangan seseorang. Dengan ranting kayu yang kudapat dari sekitar pohon itu, perlahan aku menuliskan tanda tanganku.
            Petunjuk kedua sudah menungguku untuk menyelesaikannya, tetapi saat aku ingin mengambil peta itu di dalam ranselku, hujan datang dengan derasnya. Sehingga menghalangiku untuk menyelesaikan petunjuk kedua. Petualanganku belum berakhir sampai di sini, masih ada waktu untuk menyelesaikannya. Hatiku gelisah dan bimbang membutuhkan seorang teman untuk diajak curhat..
            “Hai Sha, apa kabar?” Tanya salah seorang teman baruku yang biasa kupanggil Tami, dia anak yang pintar, baik, dan juga pemberani.
            “Hai Tam, baik, Tam aku mau cerita” Jawabku singkat.
            “Boleh-boleh, kapan?” Balas Tami dengan wajah cerianya.
            “Bagaimana sehabis pulang sekolah, di rumahku”
            “Baiklah”
            Bel tanda pulang pun sudah terdengar, saatnya aku menceritakan pengalamanku ini kepada Tami. Di kamarku yang menyeramkan, aku menceritakan semua yang telah kualami selama ini, di mulai dengan berbagai hal yang menggangguku, dan berakhir di petualangan peta jejak.
            “Ehh, sebenernya ada rahasia di daerah kamu ini” kata Tami tiba-tiba.
            “Hah, yang benar, apa itu?”
            “Dulu, banyak sekali tragedi mengerikan di sini, salah satunya adalah pembantaian dari para komplotan jahat di masa itu, yang membuat daerah ini berubah menjadi kacau-balau. Setiap harinya, berpuluh-puluh orang mati karena pembantaian itu. Sampai suatu hari,  seorang warga desa datang ke sebuah gubuk di dalam hutan, untuk menemui seorang dukun. Warga tersebut ingin meminta sebuah peta jejak agar daerah ini menjadi tentram kembali. Katanya hanya orang yang pemberani dan sabarlah yang mampu memecahkan peta jejak itu, mungkin dirimu.” Tami menjelaskan panjang lebar tentang tragedi itu, tapi yang aku tidak suka adalah di bagian akhirya. AKU?.
            “Lalu bagaimana dengan hal-hal yang sering menggangguku?” Tanyaku kembali.
            “Entahlah, aku belum tau banyak hal tentang itu, mungkin saja itu adalah warga desa ini yang sudah mati dibunuh”
            “Tam, bisa bantu kan?”          
            “Bantu apa?”
            “Menyelesaikan peta jejak itu.”
            “Loh, enggak bisa dong Sha, peta itu hanya bisa diselesaikan dengan satu orang saja, aku yakin kamu bisa”
            Dengan dukungan yang Tami berikan kepadaku. Tekadku semakin kuat untuk menyelesaikan peta jejak itu. Semenjak kejadian pembantaian dari para komploan jahat, situasi di daerah ini sangat berbahaya, dan membuat kehidupan di sini tidak tentram. Maka dari itu aku ingin membuat daerah ini menjadi aman!!
            Selasa, 28 Desember 2010,  petunjuk kedua akan segera ku selesaikan.
PETUNJUK KEDUA : Hutan Jantan.
                                      Belakang Jalan Apel.
                                      Gubuk.
                                      Batu Permata.
            Keteganganku menggelegar, Jalan Apel?, tempat di mana rumahku sekaligus hal pertama menggangkuku?. Kutenangkan diriku sejenak, lalu bergegas ke Hutan Jantan yang berada di belakang Jalan Apel, dekat rumahku.
            Sunyi, gemericik air yang kudapat dari hutan itu, tetapi masalahnya, di mana gubuk itu??. Ku lirikan mataku ini ke setiap sudut dari hutan, sampai akhirnya aku menemukan sebuah gubuk yang sudah hampir terkubur oleh dedaunan. Ku masuki gubuk itu perlahan, dan mencari Batu Permata itu. Tiba-tiba kudengar hentakan kaki, entah dari mana. Aku pun kembali ke luar gubuk untuk melihatnya, tetapi tetap saja tak ada seorang pun yang kulihat. Dari kejauhan seekor hewan sedang berlari. MENGHAMPIRIKU  !!. aku menghindar, dan hewan itu pun dengan santai mengambil ranselku yang berisi makanan, untungnya peta jejak sedang kugenggam sehingga hewan itu tidak bisa mengambilnya
            “Yah gimana nih, Batu Permata belum ketemu lagi” Keluhku.
            Aku pun kembali ke dalam gubuk, dan mencari Batu Permata itu. Sekitar tiga puluh menit kemudian aku menemukan batu itu. Batu berkilau berwarna biru cerah, setelahnya aku beralih ke petunjuk ketiga alias petunjuk terakhir. Hore !!
PETUNJUK KETIGA  : Rumah Pohon.
                                        Di puncak gunung.
                                        Pohon X dan rumah pohon.
                                        Kertas Permohonan.
            Itulah petunjuk ketiga..Aku sedikit bingung juga. Gunung? Rencananya, aku akan menyelesaikan petunjuk ketiga itu esok hari, tetapi saat ingin kembali ke rumah. Aku tersesat!!. Sudah berulang kali aku berkeliling hutan Jantan itu untuk mencari jalan pulang, tetap saja aku tidak menemukannya. Terpaksa, sangat terpaksa aku harus bermalam di sini, di Hutan ini. Aku tak tahu bagaimana keadaan keluargaku saat ini, apakah mereka mencariku?. Hari semakin malam, perutku masih belum terisi sejak tadi pagi, aku lapaaar. Malam ini, udara sangat dingin, hanya jaket yang sejak tadi kukenakan beralih fungsi sebagai selimut, aku pun terlelap dalam kegelapan.
            Pagi telah datang, petualanganku masih saja belum berakhir, sama seperti perutku yang belum terisi. Dengan tenaga yang hampir habis, aku berusaha sekuat mungkin untuk mendaki hingga puncak gunung itu, gunung yang tidak kuketahui namanya. 4 jam telah berlalu, aku sudah tidak kuat lagi. Ku mohon bantu aku  batinku..
            “Hh, akhirnya sampai juga” Kataku saat sampai di puncak gunung. Eits, belum berakhir, aku harus mencari pohon yang ditandai dengan huruf X dan memanjatnya. Satu persatu petunjuk ketiga kutemukan, salah satunya pohon X.
            Di rumah pohon yang usang itu, aku segera mencari kertas permohonan. Kutemui sebuah kertas di bawah bingkai foto, bingkai foto yang kosong. Langsung ku berpikir itulah kertas permohonan. Tetapi, kecelakaan yang tak terduga kembali menimpaku, seekor ular menggigitku.
            “Aw !” Pekikku. Ini sungguhlah sakit, tak mau usaha yang kukerahkan terbuang sia-sia, aku segera menuliskan permohonanku untuk daerah ini dengan darah yang kini sedang mengalir di kakiku. Aku menuliskan..
KEDAMAIAN ABADI SELAMANYA...  Cahaya terang terpancar dari kertas itu,
setelahnya pandanganku buram. Aku terjatuh dan tergeletak dengan darah yang masih bercucuran. Setelah itu aku tak tahu apa yang terjadi. Aku hanya berharap daerah ini menjadi tentram dan damai, seperti permohonan yang kutuliskan dengan darahku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar